Gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari
akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang setengah membusuk; oleh sebab itu, kandungan bahan organiknya tinggi[1]. Tanah yang terutama terbentuk di lahan-lahan basah ini disebut dalam bahasa Inggris sebagai peat;
dan lahan-lahan bergambut di berbagai belahan dunia dikenal dengan aneka nama
seperti bog, moor, muskeg, pocosin, mire,
dan lain-lain. Istilah gambut sendiri diserap dari bahasa daerah Banjar.
Sebagai bahan
organik, gambut dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Volume gambut di seluruh dunia diperkirakan sejumlah
4 trilyun m³, yang menutupi wilayah sebesar kurang-lebih 3 juta km² atau sekitar 2% luas daratan di dunia, dan mengandung potensi energi
kira-kira 8 miliar terajoule[2].
Agihan geografis
Deposit gambut
tersebar di banyak tempat di dunia, terutama di Rusia, Belarusia, Ukraina, Irlandia, Finlandia, Estonia, Skotlandia, Polandia, Jerman utara, Belanda, Skandinavia, dan di Amerika Utara, khususnya di Kanada, Michigan, Minnesota, Everglades di Florida, dan di delta Sungai Sacramento-San Joaquin di Kalifornia. Kandungan gambut di belahan bumi selatan lebih
sedikit, karena memang lahannya lebih sempit; namun gambut dapat dijumpai di Selandia Baru, Kerguelen, Patagonia selatan/Tierra del Fuego dan Kepulauan Falkland.
Sekitar 60% lahan basah di dunia adalah gambut; dan sekitar 7% dari
lahan-lahan gambut itu telah dibuka dan dimanfaatkan untuk kepentingan pertanian dan kehutanan. Manakala kondisinya sesuai, gambut dapat berubah
menjadi sejenis batubara setelah melewati
periode waktu geologis.
Pembentukan gambut
Gambut
terbentuk tatkala bagian-bagian tumbuhan yang luruh terhambat pembusukannya,
biasanya di lahan-lahan berawa, karena kadar keasaman yang tinggi
atau kondisi anaerob di perairan setempat.
Tidak mengherankan jika sebagian besar tanah gambut tersusun dari serpih dan
kepingan sisa tumbuhan, daun, ranting, pepagan,
bahkan kayu-kayu besar, yang belum sepenuhnya membusuk. Kadang-kadang ditemukan
pula, karena ketiadaan oksigen bersifat menghambat dekomposisi, sisa-sisa bangkai binatang dan serangga yang turut terawetkan di dalam lapisan-lapisan
gambut.
Lazimnya di
dunia, disebut sebagai gambut apabila kandungan bahan organik dalam tanah
melebihi 30%; akan tetapi hutan-hutan
rawa gambut di Indonesia umumnya mempunyai kandungan melebihi 65% dan
kedalamannya melebihi dari 50cm. Tanah dengan kandungan bahan organik antara 35–65% juga biasa disebut muck.[1]
Pertambahan
lapisan-lapisan gambut dan derajat pembusukan (humifikasi) terutama
bergantung pada komposisi gambut dan intensitas penggenangan. Gambut yang
terbentuk pada kondisi yang teramat basah akan kurang terdekomposisi, dan
dengan demikian akumulasinya tergolong cepat, dibandingkan dengan gambut yang
terbentuk di lahan-lahan yang lebih kering. Sifat-sifat ini memungkinkan para klimatolog menggunakan gambut sebagai indikator perubahan iklim
pada masa lampau. Demikian pula, melalui analisis terhadap komposisi gambut,
terutama tipe dan jumlah penyusun bahan organiknya, para ahli arkeologi dapat merekonstruksi gambaran ekologi pada masa purba.
Pada kondisi
yang tepat, gambut juga merupakan tahap awal pembentukan batubara. Gambut bog yang terkini,
terbentuk di wilayah lintang tinggi pada akhir Zaman Es terakhir, sekitar 9.000 tahun yang silam. Gambut ini
masih terus bertambah ketebalannya dengan laju sekitar beberapa milimeter setahun. Namun gambut dunia diyakini mulai terbentuk
tak kurang dari 360 juta tahun silam; dan kini menyimpan sekitar 550 Gt karbon.[3]
Gambut sebagai sumber energi
Gambut itu
lunak dan mudah untuk ditekan. Bila ditekan , kandungan air dalam gambut bisa
dipaksa untuk keluar. Bila dikeringkan , gambut bisa digunakan sebagai bahan
bakar sumber energi. Gambut adalah bahan akar penting dinegara negara dimana
pohon langka seperti Irlandia dan Skotlandia, secara tradisional gambut
digunakan untuk memasak dan pemanas rumah tangga . Secara modern, gambut
dipanen dalam sekala industri dan dipakai untuk bahan bakar pembangkit listrik.
Pembangkit listrik tenaga gambut terbesar ada di
Finlandia (Toppila Power Station) sebesar 190 MW.[4]
Gambut di Indonesia
Luas lahan
gambut di Sumatra diperkirakan berkisar antara 7,3–9,7 juta hektare atau kira-kira seperempat luas lahan gambut di
seluruh daerah tropika. Menurut kondisi dan
sifat-sifatnya, gambut di sini dapat dibedakan atas gambut topogen dan
gambut ombrogen.[1]
Gambut topogen ialah lapisan tanah gambut yang terbentuk karena
genangan air yang terhambat drainasenya pada tanah-tanah cekung di belakang
pantai, di pedalaman atau di pegunungan. Gambut jenis ini umumnya tidak begitu
dalam, hingga sekitar 4 m saja, tidak begitu asam airnya dan
relatif subur; dengan zat hara yang berasal dari
lapisan tanah mineral di dasar cekungan,
air sungai, sisa-sisa tumbuhan, dan air hujan. Gambut
topogen relatif tidak banyak dijumpai.[1]
Gambut ombrogen lebih sering dijumpai, meski semua gambut ombrogen
bermula sebagai gambut topogen. Gambut ombrogen lebih tua umurnya, pada umumnya
lapisan gambutnya lebih tebal, hingga kedalaman 20 m, dan permukaan tanah
gambutnya lebih tinggi daripada permukaan sungai di dekatnya. Kandungan unsur
hara tanah sangat terbatas, hanya bersumber dari lapisan gambut dan dari air
hujan, sehingga tidak subur. Sungai-sungai atau drainase yang keluar dari
wilayah gambut ombrogen mengalirkan air yang keasamannya tinggi (pH 3,0–4,5),
mengandung banyak asam
humus dan warnanya coklat kehitaman seperti warna air teh yang pekat.
Itulah sebabnya sungai-sungai semacam itu disebut juga sungai air hitam.[1]
Gambut
ombrogen kebanyakan terbentuk tidak jauh dari pantai. Tanah gambut ini
kemungkinan bermula dari tanah endapan mangrove yang kemudian mengering; kandungan garam dan sulfida yang tinggi di tanah itu mengakibatkan hanya sedikit
dihuni oleh jasad-jasad renik pengurai. Dengan demikian lapisan gambut mulai terbentuk di
atasnya. Penelitian di Sarawak memperlihatkan bahwa
gambut mulai terbentuk di atas lumpur mangrove sekitar 4.500 tahun yang lalu[5]; pada awalnya dengan laju penimbunan sekitar 0,475
m/100 tahun (pada kedalaman gambut 10–12 m), namun kemudian menyusut hingga
sekitar 0,223 m/100 tahun pada kedalaman 0–5 m[6] Agaknya semakin tua hutan di atas tanah
gambut ini tumbuh semakin lamban akibat semakin berkurangnya ketersediaan hara.
Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, dibangun di
atas lahan gambut ombrogen.
3.1. Karakteristik fisik
3.1. Karakteristik fisik
Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk
pertanian meliputi kadar air, berat isi (bulk density,
BD), daya menahan beban
(bearing
capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak
balik
(irriversible
drying).
Kadar air tanah gambut berkisar antara 100 – 1.300% dari berat
keringnya
(Mutalib et al., 1991). Artinya bahwa gambut mampu menyerap air
sampai 13 kali
bobotnya. Dengan demikian, sampai batas tertentu, kubah gambut
mampu
mengalirkan air ke areal sekelilingnya (Gambar 3). Kadar air yang
tinggi
menyebabkan BD menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya
menahan
bebannya rendah (Nugroho, et al, 1997; Widjaja-Adhi, 1997). BD tanah gambut
lapisan atas bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g cm-3 tergantung
pada tingkat
dekomposisinya. Gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan bawah
memiliki BD
lebih rendah dari 0,1 g/cm3, tapi gambut pantai dan gambut di
jalur aliran sungai bisa
memiliki BD > 0,2 g cm-3 (Tie and Lim, 1991) karena adanya
pengaruh tanah mineral.
Volume gambut akan menyusut bila lahan gambut didrainase, sehingga
terjadi penurunan permukaan tanah (subsiden). Selain karena
penyusutan volume,
subsiden juga terjadi karena adanya proses dekomposisi dan erosi.
Dalam 2 tahun
pertama setelah lahan gambut didrainase, laju subsiden bisa
mencapai 50 cm. Pada
tahun berikutnya laju subsiden sekitar 2 – 6 cm tahun-1 tergantung
kematangan
gambut dan kedalaman saluran drainase. Adanya subsiden bisa
dilihat dari akar
tanaman yang menggantung (Gambar 4).
Rendahnya BD gambut menyebabkan daya menahan atau menyangga
beban (bearing capacity) menjadi sangat rendah. Hal ini
menyulitkan beroperasinya
peralatan mekanisasi karena tanahnya yang empuk. Gambut juga tidak
bisa
menahan pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak. Tanaman
perkebunan seperti
karet, kelapa sawit atau kelapa seringkali doyong atau bahkan
roboh (Gambar 5).
Pertumbuhan seperti ini dianggap menguntungkan karena memudahkan
bagi petani
untuk memanen sawit.
Sifat fisik tanah gambut lainnya adalah sifat mengering tidak
balik. Gambut
yang telah mengering, dengan kadar air <100% (berdasarkan
berat), tidak bisa
menyerap air lagi kalau dibasahi. Gambut yang mengering ini
sifatnya sama dengan
kayu kering yang mudah hanyut dibawa aliran air dan mudah terbakar
dalam
keadaan kering (Widjaja-Adhi, 1988). Gambut yang terbakar
menghasilkan energi
panas yang lebih besar dari kayu/arang terbakar. Gambut yang
terbakar juga sulit
dipadamkan dan apinya bisa merambat di bawah permukaan sehingga
kebakaran
lahan bisa meluas tidak terkendali.
Gambar 3. Air mengalir dari kubah gambut melalui saluran drainase.
Gambar 4. Akar yang menggantung pada tanaman yang tumbuh di lahan
gambut
menandakan sudah terjadinya subsiden (penurunan permukaan).
Gambar 5. Tanaman kelapa sawit yang doyong disebabkan karena
rendahnya daya
menahan beban tanah gambut.
3.2. Karakteristik kimia
Karakteristik kimia lahan gambut di Indonesia sangat ditentukan
oleh
kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum (di
dasar gambut), dan
tingkat dekomposisi gambut. Kandungan mineral gambut di Indonesia
umumnya
kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan organik. Fraksi organik
terdiri dari
senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20% dan sebagian besar
lainnya adalah
senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin,
suberin, protein, dan
senyawa lainnya.
Lahan gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif
tinggi
dengan kisaran pH 3 – 5. Gambut oligotropik yang memiliki substratum pasir
kuarsa
di Berengbengkel, Kalimantan Tengah memiliki kisaran pH 3,25 –
3,75 (Halim, 1987;
Salampak, 1999). Sementara itu gambut di sekitar Air Sugihan Kiri,
Sumatera
Selatan memiliki kisaran pH yang lebih tinggi yaitu antara 4,1
sampai 4,3 (Hartatik et
al., 2004).
Gambut oligotropik, seperti banyak ditemukan di Kalimantan,
mempunyai
kandungan kation basa seperti Ca, Mg, K, dan Na sangat rendah
terutama pada
gambut tebal. Semakin tebal gambut, basa-basa yang dikandungnya
semakin
rendah dan reaksi tanah menjadi semakin masam (Driessen dan
Suhardjo, 1976). Di
sisi lain kapasitas tukar kation (KTK) gambut tergolong tinggi,
sehingga kejenuhan
basa (KB) menjadi sangat rendah. Tim Institut Pertanian Bogor
(1974) melaporkan
bahwa tanah gambut pedalaman di Kalampangan, Kalimantan Tengah
mempunyai
nilai KB kurang dari 10%, demikian juga gambut di pantai Timur
Riau (Suhardjo dan
Widjaja-Adhi, 1976).
Muatan negatif (yang menentukan KTK) pada tanah gambut seluruhnya
adalah muatan tergantung pH (pH dependent charge), dimana KTK akan naik bila
pH gambut ditingkatkan. Muatan negatif yang terbentuk adalah hasil
dissosiasi
hidroksil pada gugus karboksilat atau fenol. Oleh karenanya
penetapan KTK
menggunakan pengekstrak amonium acetat pH 7 akan menghasilkan
nilai KTK yang
tinggi, sedangkan penetapan KTK dengan pengekstrak amonium klorida
(pada pH
aktual) akan menghasilkan nilai yang lebih rendah. KTK tinggi
menunjukkan
kapasitas jerapan (sorption capacity) gambut tinggi, namun kekuatan
jerapan
(sorption
power) lemah, sehingga kation-kation K, Ca, Mg dan Na yang tidak
membentuk ikatan koordinasi akan mudah tercuci.
Secara alamiah lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah
karena
kandungan unsur haranya rendah dan mengandung beragam asam-asam
organik
yang sebagian bersifat racun bagi tanaman. Namun demikian asam-asam
tersebut
merupakan bagian aktif dari tanah yang menentukan kemampuan gambut
untuk
menahan unsur hara. Karakteristik dari asam-asam organik ini akan
menentukan
sifat kimia gambut.
Untuk mengurangi pengaruh buruk asam-asam organik yang beracun
dapat
dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan yang banyak mengandung
kation
polivalen seperti Fe, Al, Cu dan Zn. Kation-kation tersebut
membentuk ikatan
koordinasi dengan ligan organik membentuk senyawa komplek/khelat.
Oleh
karenanya bahan-bahan yang mengandung kation polivalen tersebut
bisa
dimanfaatkan sebagai bahan amelioran gambut (Sabiham et al., 1997;
Saragih,
1996).
Tanah gambut juga mengandung unsur mikro yang sangat rendah dan
diikat
cukup kuat (khelat) oleh bahan organik sehingga tidak tersedia
bagi tanaman. Selain
itu adanya kondisi reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro
direduksi ke bentuk
yang tidak dapat diserap tanaman. Kandungan unsur mikro pada tanah
gambut
dapat ditingkatkan dengan menambahkan tanah mineral atau
menambahkan pupuk
mikro.
Gambut di Indonesia (dan di daerah tropis lainnya) mempunyai
kandungan
lignin yang lebih tinggi dibandingkan dengan gambut yang berada di
daerah beriklim
sedang, karena terbentuk dari pohon-pohohan (Driessen dan
Suhardjo, 1976).
Lignin yang mengalami proses degradasi dalam keadaan anaerob akan
terurai
menjadi senyawa humat dan asam-asam fenolat (Kononova, 1968).
Asam-asam
fenolat dan derivatnya bersifat fitotoksik (meracuni tanaman) dan
menyebabkan
pertumbuhan tanaman terhambat (Driessen, 1978; Stevenson, 1994;
Rachim, 1995).
Asam fenolat merusak sel akar tanaman, sehingga asam-asam amino
dan bahan
lain mengalir keluar dari sel, menghambat pertumbuhan akar dan
serapan hara
sehingga pertumbuhan tanaman menjadi kerdil, daun mengalami
klorosis
(menguning) dan pada akhirnya tanaman akan mati. Turunan asam
fenolat yang
bersifat fitotoksik antara lain adalah asam ferulat, siringat ,
p-hidroksibenzoat, vanilat,
p-kumarat, sinapat, suksinat, propionat, butirat, dan tartrat.
Sumber : Agus, Fahmuddin & I.G. Made Subiksa. 2008. Lahan
Gambut : Potensi
Untuk
Pertanian dan Aspek Lingkungan. Bogor :
Balai Penelitian Tanah, Badan Penelitian dan
Perngembangan Pertanian.
ifat
Sifat Tanah Gambut -
Susunan kandungan senyawa organik dan hara mineral tergantung pada jenis
jaringan penyusun gambut, lingkungan pembentukan, dan perlakuan reklamasi.
Senyawa organik utama tanah gambut hemiselulosa, selulosa dan lignin, serta
tanin dan resin dalam jumlah kecil. Sebelum lebih dalam lagi dalam pembahasan
sifat-sifat tanah gambut, Anda dapat mengenal lahan gambut pada artikel sebelumnya.
Sumber keasaman tanah gambut adalah pirit (FeS2) dan asam-asam organik. Dalam
keadaan tergenang pirit tidak berbahaya, tetapi dalam keadaan kering akan
teroksidasi. Jika terkena air, pirit yang teroksidasi akan menjadi asam sulfat
atau sering disebut air aki (air keras) yang sangat asam. Akar tanaman akan
terganggu dan unsur hara sulit diserap tanaman. Selain itu unsur besi dan
aluminium akan larut hingga meracuni tanaman. Lahan dengan pirit teroksidasi
(lahan bersulfat) tidak direkomendasikan untuk pertanian.
Keasaman tanah gambut cenderung menurun seiring dengan kedalaman gambut. Sifat
kimia tanah gambut yaitu pH, kadar abu, kadar NPK, kejenuhan basa (KB), dan
unsur hara mikro harus diperhatikan. Dekomposisi tanah gmbut kayu-kayuan kaya
lignin dalam keadaan anaerob selain menghasilkan asam-asam alifatik juga
menghasilkan asam-asam fenolat.
Tanah gambut merupakan tanah dengan kadar asam yang tinggi. Walaupun kita perlu
membuang asam-asam organik, namun kita tidak boleh sampai membuang habis
asam-asam tersebut karena asam-asam organik adalah bagian dari tanah gambut
yang memiliki muatan (aktif) dan tetap diperlukan bagi tanaman. Mengurangi
pengaruh buruk asam-asam organik beracun juga dapat dilakukan dengan penambahan
bahan-bahan yang banyak mengandung kation polivalen seperti terak baja, tanah
mineral laterit (oxisols) atau lumpur sungai. Namun pemberian Al, Fe, dan Cu
yang terlalu tinggi menyebabkan kemasaman tanah meningkat dan pertumbuhan
tanaman terganggu.
Jenis dan Macam Tanah Gambut yang Ada di Indonesia
Di berbagai belahan dunia memiliki jenis
tanaman yang beragam begitu juga dengan fauna yang ada di dalamnya, hal ini jugalah
yang menyebabkan perbedaan dalam ekosistem yang ada, salah satunya adalah dalam
jenis tanah di dalamnya. Lahan-lahan yang ada di bumi memang tak semuanya cocok
untuk ditanami segala macam tumbuhan, menyesuaikan dengan keberadaan unsur hara
dan juga cuaca. Salah satu jenis tanah yang sangat bagus untuk ditanami
berbagai macam tumbuhan adalah tanah gambut, mungkin anda sudah sering kali
menjumpai jenis tanah yang satu ini.
Tanah gambut merupakan tanah yang berasal
dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang sudah setengah membusuk sehingga kaya
akan berbagai macam unsur hara. Kebanyakan tanah yang satu ini terbentuk di
daerah yang berair, salah satunya adalah di Inggris. Lahan-lahan gambut yang
ada di dunia sendiri di kenal dengan berbagai macam nama mulai dari bog, moor,
muskeg dan yang lainnya. kandungan bahan organik yang cukup tinggi membuat
tanah gambut juga dikenal sebagai tanah untuk sumber energi, karena memang
berbagai macam tumbuhan bisa dengan mudah hidup pada tanah yang satu ini.
Tanah gambut sendiri bisa terbentuk saat
bagian-bagian dari tumbuhan baik itu akar, batang, daun dan yang lainnya luruh
dan membusuk, namun proses pembusukan tersebut terhambat oleh lingkungan atau
organisme yang lain sehingga hanya setengah jalan atau dikenal dengan setengah
membusuk. Tanah dikatakan sebagai tanah gambut jika kadar bahan organik yang
ada di dalamnya melebihi angka 30%, jumlah yang tentunya sangat besar untuk
sebuah tanah, tak heran jika berbagai macam tanaman bisa dengan mudah tumbuh
dan berkembang jika ditanam pada tanah ini.
Di Indonesia sendiri lahan gambut
kebanyakan adalah berada di pulau Sumatera, yang perkiraanya ada 7 sampai
dengan 10 hektar, lahan tersebut nantinya dibagi lagi dalam dua jenis
berdasarkan kondisi dan juga sifatnya, yaitu:
- Gambut topogen, merupakan lapisan
tanah gambut yang terbentuk karena genangan air terhambat oleh drainase
pada tanah cekung yang berada di belakang pantai, pedalaman atau
pegunungan, sangat subur dengan air yang tak terlalu asam, kaya akan unsur
hara dan berbagai macam mineral.
- Gambut ombrogen, jenis yang satu ini
merupakan yang paling banyak dijumpai di dunia, merupakan tanah gambut
yang pada awalnya merupakan gambut topogen, namun usianya lebih tua
sehingga kemudian membentuk gambut ombrogen, dibandingkan dengan topogen
kandungan unsur hara yang ada di dalamnya jauh lebih sedikit atau
terbatas, biasanya berada di wilayah yang tak jauh dari pantai dan juga
daerah di sepanjang aliran sungai.
Tanah gambut memang menjadi yang paling
subur untuk ditanami berbagai macam tumbuhan, namun keberadaannya juga sangat
terbatas
Klasifikasi gambut berdasarkan
sifatnya ada dua. Pertama sifat kimia, ditentukan oleh keasaman tanah, kadar
asam organik, kandungan mineral, dan kandungan sulfur. Gambut di daerah tropis
mengandung lignin yang tinggi jika dibandingkan dengan gambut yang berada di
iklim sedang sebab terbentuk dari pohon-pohonan. Kedua sifat fisik, pada
umumnya sifat fisik gambut berwarna coklat, hitam, dan agak merah. Sifat-sifat
gambut yang menonjol gambut kering beratnya ringan, kuat menahan air, tanah
gambut memiliki kecepatan massa lebih daripada tanah mineral, keadaan fisiknya
tidak berubah.