photo Graphic1_zps6dn7hkuh.jpg
 photo 2000lebeh_zpsg8laumum.gif

Jumat, 05 Februari 2016

MENGENAL GAMBUT

Gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang setengah membusuk; oleh sebab itu, kandungan bahan organiknya tinggi[1]. Tanah yang terutama terbentuk di lahan-lahan basah ini disebut dalam bahasa Inggris sebagai peat; dan lahan-lahan bergambut di berbagai belahan dunia dikenal dengan aneka nama seperti bog, moor, muskeg, pocosin, mire, dan lain-lain. Istilah gambut sendiri diserap dari bahasa daerah Banjar.
Sebagai bahan organik, gambut dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Volume gambut di seluruh dunia diperkirakan sejumlah 4 trilyun m³, yang menutupi wilayah sebesar kurang-lebih 3 juta km² atau sekitar 2% luas daratan di dunia, dan mengandung potensi energi kira-kira 8 miliar terajoule[2].
Agihan geografis
Deposit gambut tersebar di banyak tempat di dunia, terutama di Rusia, Belarusia, Ukraina, Irlandia, Finlandia, Estonia, Skotlandia, Polandia, Jerman utara, Belanda, Skandinavia, dan di Amerika Utara, khususnya di Kanada, Michigan, Minnesota, Everglades di Florida, dan di delta Sungai Sacramento-San Joaquin di Kalifornia. Kandungan gambut di belahan bumi selatan lebih sedikit, karena memang lahannya lebih sempit; namun gambut dapat dijumpai di Selandia Baru, Kerguelen, Patagonia selatan/Tierra del Fuego dan Kepulauan Falkland.
Sekitar 60% lahan basah di dunia adalah gambut; dan sekitar 7% dari lahan-lahan gambut itu telah dibuka dan dimanfaatkan untuk kepentingan pertanian dan kehutanan. Manakala kondisinya sesuai, gambut dapat berubah menjadi sejenis batubara setelah melewati periode waktu geologis.
Pembentukan gambut
Description: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/4/40/Torfabbau-.jpg/250px-Torfabbau-.jpg
Pemanenan tanah gambut di Frisia Timur, Jerman
Gambut terbentuk tatkala bagian-bagian tumbuhan yang luruh terhambat pembusukannya, biasanya di lahan-lahan berawa, karena kadar keasaman yang tinggi atau kondisi anaerob di perairan setempat. Tidak mengherankan jika sebagian besar tanah gambut tersusun dari serpih dan kepingan sisa tumbuhan, daun, ranting, pepagan, bahkan kayu-kayu besar, yang belum sepenuhnya membusuk. Kadang-kadang ditemukan pula, karena ketiadaan oksigen bersifat menghambat dekomposisi, sisa-sisa bangkai binatang dan serangga yang turut terawetkan di dalam lapisan-lapisan gambut.
Lazimnya di dunia, disebut sebagai gambut apabila kandungan bahan organik dalam tanah melebihi 30%; akan tetapi hutan-hutan rawa gambut di Indonesia umumnya mempunyai kandungan melebihi 65% dan kedalamannya melebihi dari 50cm. Tanah dengan kandungan bahan organik antara 35–65% juga biasa disebut muck.[1]
Pertambahan lapisan-lapisan gambut dan derajat pembusukan (humifikasi) terutama bergantung pada komposisi gambut dan intensitas penggenangan. Gambut yang terbentuk pada kondisi yang teramat basah akan kurang terdekomposisi, dan dengan demikian akumulasinya tergolong cepat, dibandingkan dengan gambut yang terbentuk di lahan-lahan yang lebih kering. Sifat-sifat ini memungkinkan para klimatolog menggunakan gambut sebagai indikator perubahan iklim pada masa lampau. Demikian pula, melalui analisis terhadap komposisi gambut, terutama tipe dan jumlah penyusun bahan organiknya, para ahli arkeologi dapat merekonstruksi gambaran ekologi pada masa purba.
Pada kondisi yang tepat, gambut juga merupakan tahap awal pembentukan batubara. Gambut bog yang terkini, terbentuk di wilayah lintang tinggi pada akhir Zaman Es terakhir, sekitar 9.000 tahun yang silam. Gambut ini masih terus bertambah ketebalannya dengan laju sekitar beberapa milimeter setahun. Namun gambut dunia diyakini mulai terbentuk tak kurang dari 360 juta tahun silam; dan kini menyimpan sekitar 550 Gt karbon.[3]
Gambut sebagai sumber energi
Gambut itu lunak dan mudah untuk ditekan. Bila ditekan , kandungan air dalam gambut bisa dipaksa untuk keluar. Bila dikeringkan , gambut bisa digunakan sebagai bahan bakar sumber energi. Gambut adalah bahan akar penting dinegara negara dimana pohon langka seperti Irlandia dan Skotlandia, secara tradisional gambut digunakan untuk memasak dan pemanas rumah tangga . Secara modern, gambut dipanen dalam sekala industri dan dipakai untuk bahan bakar pembangkit listrik. Pembangkit listrik tenaga gambut terbesar ada di Finlandia (Toppila Power Station) sebesar 190 MW.[4]
Gambut di Indonesia
Luas lahan gambut di Sumatra diperkirakan berkisar antara 7,3–9,7 juta hektare atau kira-kira seperempat luas lahan gambut di seluruh daerah tropika. Menurut kondisi dan sifat-sifatnya, gambut di sini dapat dibedakan atas gambut topogen dan gambut ombrogen.[1]
Gambut topogen ialah lapisan tanah gambut yang terbentuk karena genangan air yang terhambat drainasenya pada tanah-tanah cekung di belakang pantai, di pedalaman atau di pegunungan. Gambut jenis ini umumnya tidak begitu dalam, hingga sekitar 4 m saja, tidak begitu asam airnya dan relatif subur; dengan zat hara yang berasal dari lapisan tanah mineral di dasar cekungan, air sungai, sisa-sisa tumbuhan, dan air hujan. Gambut topogen relatif tidak banyak dijumpai.[1]
Gambut ombrogen lebih sering dijumpai, meski semua gambut ombrogen bermula sebagai gambut topogen. Gambut ombrogen lebih tua umurnya, pada umumnya lapisan gambutnya lebih tebal, hingga kedalaman 20 m, dan permukaan tanah gambutnya lebih tinggi daripada permukaan sungai di dekatnya. Kandungan unsur hara tanah sangat terbatas, hanya bersumber dari lapisan gambut dan dari air hujan, sehingga tidak subur. Sungai-sungai atau drainase yang keluar dari wilayah gambut ombrogen mengalirkan air yang keasamannya tinggi (pH 3,0–4,5), mengandung banyak asam humus dan warnanya coklat kehitaman seperti warna air teh yang pekat. Itulah sebabnya sungai-sungai semacam itu disebut juga sungai air hitam.[1]
Gambut ombrogen kebanyakan terbentuk tidak jauh dari pantai. Tanah gambut ini kemungkinan bermula dari tanah endapan mangrove yang kemudian mengering; kandungan garam dan sulfida yang tinggi di tanah itu mengakibatkan hanya sedikit dihuni oleh jasad-jasad renik pengurai. Dengan demikian lapisan gambut mulai terbentuk di atasnya. Penelitian di Sarawak memperlihatkan bahwa gambut mulai terbentuk di atas lumpur mangrove sekitar 4.500 tahun yang lalu[5]; pada awalnya dengan laju penimbunan sekitar 0,475 m/100 tahun (pada kedalaman gambut 10–12 m), namun kemudian menyusut hingga sekitar 0,223 m/100 tahun pada kedalaman 0–5 m[6] Agaknya semakin tua hutan di atas tanah gambut ini tumbuh semakin lamban akibat semakin berkurangnya ketersediaan hara.
Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, dibangun di atas lahan gambut ombrogen.

3.1. Karakteristik fisik
Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk
pertanian meliputi kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan beban
(bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik
(irriversible drying).

Kadar air tanah gambut berkisar antara 100 – 1.300% dari berat keringnya
(Mutalib et al., 1991). Artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali
bobotnya. Dengan demikian, sampai batas tertentu, kubah gambut mampu
mengalirkan air ke areal sekelilingnya (Gambar 3). Kadar air yang tinggi
menyebabkan BD menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya menahan
bebannya rendah (Nugroho, et al, 1997; Widjaja-Adhi, 1997). BD tanah gambut
lapisan atas bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g cm-3 tergantung pada tingkat
dekomposisinya. Gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan bawah memiliki BD
lebih rendah dari 0,1 g/cm3, tapi gambut pantai dan gambut di jalur aliran sungai bisa
memiliki BD > 0,2 g cm-3 (Tie and Lim, 1991) karena adanya pengaruh tanah mineral.

Volume gambut akan menyusut bila lahan gambut didrainase, sehingga
terjadi penurunan permukaan tanah (subsiden). Selain karena penyusutan volume,
subsiden juga terjadi karena adanya proses dekomposisi dan erosi. Dalam 2 tahun
pertama setelah lahan gambut didrainase, laju subsiden bisa mencapai 50 cm. Pada
tahun berikutnya laju subsiden sekitar 2 – 6 cm tahun-1 tergantung kematangan
gambut dan kedalaman saluran drainase. Adanya subsiden bisa dilihat dari akar
tanaman yang menggantung (Gambar 4).

Rendahnya BD gambut menyebabkan daya menahan atau menyangga
beban (bearing capacity) menjadi sangat rendah. Hal ini menyulitkan beroperasinya
peralatan mekanisasi karena tanahnya yang empuk. Gambut juga tidak bisa
menahan pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak. Tanaman perkebunan seperti
karet, kelapa sawit atau kelapa seringkali doyong atau bahkan roboh (Gambar 5).
Pertumbuhan seperti ini dianggap menguntungkan karena memudahkan bagi petani
untuk memanen sawit.

Sifat fisik tanah gambut lainnya adalah sifat mengering tidak balik. Gambut
yang telah mengering, dengan kadar air <100% (berdasarkan berat), tidak bisa
menyerap air lagi kalau dibasahi. Gambut yang mengering ini sifatnya sama dengan
kayu kering yang mudah hanyut dibawa aliran air dan mudah terbakar dalam
keadaan kering (Widjaja-Adhi, 1988). Gambut yang terbakar menghasilkan energi
panas yang lebih besar dari kayu/arang terbakar. Gambut yang terbakar juga sulit
dipadamkan dan apinya bisa merambat di bawah permukaan sehingga kebakaran
lahan bisa meluas tidak terkendali.

Description: https://mukegile08.files.wordpress.com/2012/02/022312_0115_karakterist1.png?w=614
Gambar 3. Air mengalir dari kubah gambut melalui saluran drainase.

Description: https://mukegile08.files.wordpress.com/2012/02/022312_0115_karakterist2.png?w=614
Gambar 4. Akar yang menggantung pada tanaman yang tumbuh di lahan gambut
menandakan sudah terjadinya subsiden (penurunan permukaan).

Description: https://mukegile08.files.wordpress.com/2012/02/022312_0115_karakterist3.png?w=614
Gambar 5. Tanaman kelapa sawit yang doyong disebabkan karena rendahnya daya
menahan beban tanah gambut.

3.2. Karakteristik kimia
Karakteristik kimia lahan gambut di Indonesia sangat ditentukan oleh
kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), dan
tingkat dekomposisi gambut. Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya
kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan organik. Fraksi organik terdiri dari
senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20% dan sebagian besar lainnya adalah
senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, protein, dan
senyawa lainnya.

Lahan gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi
dengan kisaran pH 3 – 5. Gambut oligotropik yang memiliki substratum pasir kuarsa
di Berengbengkel, Kalimantan Tengah memiliki kisaran pH 3,25 – 3,75 (Halim, 1987;
Salampak, 1999). Sementara itu gambut di sekitar Air Sugihan Kiri, Sumatera
Selatan memiliki kisaran pH yang lebih tinggi yaitu antara 4,1 sampai 4,3 (Hartatik et
al., 2004).

Gambut oligotropik, seperti banyak ditemukan di Kalimantan, mempunyai
kandungan kation basa seperti Ca, Mg, K, dan Na sangat rendah terutama pada
gambut tebal. Semakin tebal gambut, basa-basa yang dikandungnya semakin
rendah dan reaksi tanah menjadi semakin masam (Driessen dan Suhardjo, 1976). Di
sisi lain kapasitas tukar kation (KTK) gambut tergolong tinggi, sehingga kejenuhan
basa (KB) menjadi sangat rendah. Tim Institut Pertanian Bogor (1974) melaporkan
bahwa tanah gambut pedalaman di Kalampangan, Kalimantan Tengah mempunyai
nilai KB kurang dari 10%, demikian juga gambut di pantai Timur Riau (Suhardjo dan
Widjaja-Adhi, 1976).

Muatan negatif (yang menentukan KTK) pada tanah gambut seluruhnya
adalah muatan tergantung pH (pH dependent charge), dimana KTK akan naik bila
pH gambut ditingkatkan. Muatan negatif yang terbentuk adalah hasil dissosiasi
hidroksil pada gugus karboksilat atau fenol. Oleh karenanya penetapan KTK
menggunakan pengekstrak amonium acetat pH 7 akan menghasilkan nilai KTK yang
tinggi, sedangkan penetapan KTK dengan pengekstrak amonium klorida (pada pH
aktual) akan menghasilkan nilai yang lebih rendah. KTK tinggi menunjukkan
kapasitas jerapan (sorption capacity) gambut tinggi, namun kekuatan jerapan
(sorption power) lemah, sehingga kation-kation K, Ca, Mg dan Na yang tidak
membentuk ikatan koordinasi akan mudah tercuci.

Secara alamiah lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah karena
kandungan unsur haranya rendah dan mengandung beragam asam-asam organik
yang sebagian bersifat racun bagi tanaman. Namun demikian asam-asam tersebut
merupakan bagian aktif dari tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk
menahan unsur hara. Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan
sifat kimia gambut.

Untuk mengurangi pengaruh buruk asam-asam organik yang beracun dapat
dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan yang banyak mengandung kation
polivalen seperti Fe, Al, Cu dan Zn. Kation-kation tersebut membentuk ikatan
koordinasi dengan ligan organik membentuk senyawa komplek/khelat. Oleh
karenanya bahan-bahan yang mengandung kation polivalen tersebut bisa
dimanfaatkan sebagai bahan amelioran gambut (Sabiham et al., 1997; Saragih,
1996).

Tanah gambut juga mengandung unsur mikro yang sangat rendah dan diikat
cukup kuat (khelat) oleh bahan organik sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Selain
itu adanya kondisi reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi ke bentuk
yang tidak dapat diserap tanaman. Kandungan unsur mikro pada tanah gambut
dapat ditingkatkan dengan menambahkan tanah mineral atau menambahkan pupuk
mikro.

Gambut di Indonesia (dan di daerah tropis lainnya) mempunyai kandungan
lignin yang lebih tinggi dibandingkan dengan gambut yang berada di daerah beriklim
sedang, karena terbentuk dari pohon-pohohan (Driessen dan Suhardjo, 1976).
Lignin yang mengalami proses degradasi dalam keadaan anaerob akan terurai
menjadi senyawa humat dan asam-asam fenolat (Kononova, 1968). Asam-asam
fenolat dan derivatnya bersifat fitotoksik (meracuni tanaman) dan menyebabkan
pertumbuhan tanaman terhambat (Driessen, 1978; Stevenson, 1994; Rachim, 1995).

Asam fenolat merusak sel akar tanaman, sehingga asam-asam amino dan bahan
lain mengalir keluar dari sel, menghambat pertumbuhan akar dan serapan hara
sehingga pertumbuhan tanaman menjadi kerdil, daun mengalami klorosis
(menguning) dan pada akhirnya tanaman akan mati. Turunan asam fenolat yang
bersifat fitotoksik antara lain adalah asam ferulat, siringat , p-hidroksibenzoat, vanilat,
p-kumarat, sinapat, suksinat, propionat, butirat, dan tartrat.

Sumber : Agus, Fahmuddin & I.G. Made Subiksa. 2008. Lahan Gambut : Potensi Untuk
Pertanian dan Aspek Lingkungan. Bogor : Balai Penelitian Tanah, Badan Penelitian dan
Perngembangan Pertanian.

ifat Sifat Tanah Gambut - Susunan kandungan senyawa organik dan hara mineral tergantung pada jenis jaringan penyusun gambut, lingkungan pembentukan, dan perlakuan reklamasi. Senyawa organik utama tanah gambut hemiselulosa, selulosa dan lignin, serta tanin dan resin dalam jumlah kecil. Sebelum lebih dalam lagi dalam pembahasan sifat-sifat tanah gambut, Anda dapat mengenal lahan gambut pada artikel sebelumnya.

Sumber keasaman tanah gambut adalah pirit (FeS2) dan asam-asam organik. Dalam keadaan tergenang pirit tidak berbahaya, tetapi dalam keadaan kering akan teroksidasi. Jika terkena air, pirit yang teroksidasi akan menjadi asam sulfat atau sering disebut air aki (air keras) yang sangat asam. Akar tanaman akan terganggu dan unsur hara sulit diserap tanaman. Selain itu unsur besi dan aluminium akan larut hingga meracuni tanaman. Lahan dengan pirit teroksidasi (lahan bersulfat) tidak direkomendasikan untuk pertanian.

Keasaman tanah gambut cenderung menurun seiring dengan kedalaman gambut. Sifat kimia tanah gambut yaitu pH, kadar abu, kadar NPK, kejenuhan basa (KB), dan unsur hara mikro harus diperhatikan. Dekomposisi tanah gmbut kayu-kayuan kaya lignin dalam keadaan anaerob selain menghasilkan asam-asam alifatik juga menghasilkan asam-asam fenolat.

Tanah gambut merupakan tanah dengan kadar asam yang tinggi. Walaupun kita perlu membuang asam-asam organik, namun kita tidak boleh sampai membuang habis asam-asam tersebut karena asam-asam organik adalah bagian dari tanah gambut yang memiliki muatan (aktif) dan tetap diperlukan bagi tanaman. Mengurangi pengaruh buruk asam-asam organik beracun juga dapat dilakukan dengan penambahan bahan-bahan yang banyak mengandung kation polivalen seperti terak baja, tanah mineral laterit (oxisols) atau lumpur sungai. Namun pemberian Al, Fe, dan Cu yang terlalu tinggi menyebabkan kemasaman tanah meningkat dan pertumbuhan tanaman terganggu.

Jenis dan Macam Tanah Gambut yang Ada di Indonesia

Di berbagai belahan dunia memiliki jenis tanaman yang beragam begitu juga dengan fauna yang ada di dalamnya, hal ini jugalah yang menyebabkan perbedaan dalam ekosistem yang ada, salah satunya adalah dalam jenis tanah di dalamnya. Lahan-lahan yang ada di bumi memang tak semuanya cocok untuk ditanami segala macam tumbuhan, menyesuaikan dengan keberadaan unsur hara dan juga cuaca. Salah satu jenis tanah yang sangat bagus untuk ditanami berbagai macam tumbuhan adalah tanah gambut, mungkin anda sudah sering kali menjumpai jenis tanah yang satu ini.
Description: 1
Tanah gambut merupakan tanah yang berasal dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang sudah setengah membusuk sehingga kaya akan berbagai macam unsur hara. Kebanyakan tanah yang satu ini terbentuk di daerah yang berair, salah satunya adalah di Inggris. Lahan-lahan gambut yang ada di dunia sendiri di kenal dengan berbagai macam nama mulai dari bog, moor, muskeg dan yang lainnya. kandungan bahan organik yang cukup tinggi membuat tanah gambut juga dikenal sebagai tanah untuk sumber energi, karena memang berbagai macam tumbuhan bisa dengan mudah hidup pada tanah yang satu ini.
Tanah gambut sendiri bisa terbentuk saat bagian-bagian dari tumbuhan baik itu akar, batang, daun dan yang lainnya luruh dan membusuk, namun proses pembusukan tersebut terhambat oleh lingkungan atau organisme yang lain sehingga hanya setengah jalan atau dikenal dengan setengah membusuk. Tanah dikatakan sebagai tanah gambut jika kadar bahan organik yang ada di dalamnya melebihi angka 30%, jumlah yang tentunya sangat besar untuk sebuah tanah, tak heran jika berbagai macam tanaman bisa dengan mudah tumbuh dan berkembang jika ditanam pada tanah ini.
Di Indonesia sendiri lahan gambut kebanyakan adalah berada di pulau Sumatera, yang perkiraanya ada 7 sampai dengan 10 hektar, lahan tersebut nantinya dibagi lagi dalam dua jenis berdasarkan kondisi dan juga sifatnya, yaitu:
  1. Gambut topogen, merupakan lapisan tanah gambut yang terbentuk karena genangan air terhambat oleh drainase pada tanah cekung yang berada di belakang pantai, pedalaman atau pegunungan, sangat subur dengan air yang tak terlalu asam, kaya akan unsur hara dan berbagai macam mineral.
  2. Gambut ombrogen, jenis yang satu ini merupakan yang paling banyak dijumpai di dunia, merupakan tanah gambut yang pada awalnya merupakan gambut topogen, namun usianya lebih tua sehingga kemudian membentuk gambut ombrogen, dibandingkan dengan topogen kandungan unsur hara yang ada di dalamnya jauh lebih sedikit atau terbatas, biasanya berada di wilayah yang tak jauh dari pantai dan juga daerah di sepanjang aliran sungai.
Tanah gambut memang menjadi yang paling subur untuk ditanami berbagai macam tumbuhan, namun keberadaannya juga sangat terbatas

Klasifikasi gambut berdasarkan sifatnya ada dua. Pertama sifat kimia, ditentukan oleh keasaman tanah, kadar asam organik, kandungan mineral, dan kandungan sulfur. Gambut di daerah tropis mengandung lignin yang tinggi jika dibandingkan dengan gambut yang berada di iklim sedang sebab terbentuk dari pohon-pohonan. Kedua sifat fisik, pada umumnya sifat fisik gambut berwarna coklat, hitam, dan agak merah. Sifat-sifat gambut yang menonjol gambut kering beratnya ringan, kuat menahan air, tanah gambut memiliki kecepatan massa lebih daripada tanah mineral, keadaan fisiknya tidak berubah.





baca selengkapnya »»